Kenyataan tersebut paling tidak membuktikan bahwa wayang (seni pewayangan) masih tetap eksis di tengah masyarakat penontonnya. Wayang memang telah dikenal luas dan didukung oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena memiliki corak dan sifat yang khas serta mengandung nilai-nilai budaya yang tinggi.
Eksistensi Wayang
Wayang merupakan salah satu warisan budaya bangsa yang telah mampu bertahan, dari waktu ke waktu, dengan mengalami perubahan dan perkembangan sampai berbentuk seperti sekarang ini. Daya tahan wayang yang luar biasa terhadap berbagai perubahan pemerintahan, politik, sosial budaya maupun kepercayaan membuktikan bahwa wayang mempunyai fungsi dan peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Saat ini, fungsi dan peranan wayang tidak lagi difokuskan pada upacara-upacara ritual dan keagamaan, tetapi telah bergeser ke acara “Hiburan” (dengan H-besar) yang mengutamakan inti cerita dengan berbagai macam pengetahuan, filsafat hidup, nilai-nilai budaya, dan berbagai unsur seni yang semuanya berpadu dalam seni pedalangan.
Singkatnya, dengan kadar seni pedalangan yang cukup mantap dan sifatnya yang multi-dimensional, wayang telah banyak memikat masyarakat penontonnya. Bagi mereka, wayang dapat merupakan hiburan yang seringan-ringannya, tetapi juga dapat menjadi bahan pemikiran yang sedalam-dalamnya.
Wayang memang telah ikut serta mendewasakan masyarakat dengan jalan membekalinya dengan konsepsi-konsepsi yang mudah dihayati dan diresapkan dalam mengatasi berbagai persoalan hidup. Filsafat pewayangan membuat masyarakat penontonnya merenungkan hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, manunggaling kawula gusti, kedudukan manusia dalam alam semesta, serta sangkan paraning dumadi yang dilambangkan dengan tancep kayon oleh ki dalang pada akhir pagelaran (Wibisono, 1993).
Berbeda dengan berbagai jenis kesenian tradisional lainnya, pagelaran wayang lebih banyak menyampaikan pesan rohaniah daripada pesan lahiriah (Sutarno, 1991). Dengan menonton wayang, kita diajak aktif, berfikir untuk memilah-milah, di manakah posisi kita saat ini. Nilai kemanusiaan dan berbagai pemikiran filosofis yang disampaikan para tokohnya, termasuk para punakawan, sering-sering bersifat sinamudana, tersamar, sehingga penonton tidak akan beranjak dari tempat duduknya meskipun lakon yang digelar mungkin pernah dilihatnya, bahkan mungkin lebih dari sekali-dua kali. Kalaupun mereka terkena sindiran karena dalang mengisahkan lakon yang kebetulan mirip dengan kisah kehidupannya, seringkali hal itu justru dianggap sebagai teguran halus, pangeling-eling, agar kita sadar akan kesalahan yang telah dilakukan. Alam pewayangan sering dijadikan sandaran atau pedoman sikap dan tingkah laku, bahkan karena begitu kuatnya mempengaruhi alam pikirannya sehingga merupakan sistem nilai budaya yang di antaranya didukung secara turun-temurun, diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya (Wibisono, 1993).
Dalam kakawin Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa seorang pujangga kraton pada masa pemerintahan Raja Airlangga di Jawa Timur, pada abad XI (1019-1042), Bab V bait 9, terdapat kalimat sebagai berikut:
Hananonton ringgit manangis asekel muda hidepan huwus wruh tuwin yan walulang inukir molah angucap hatur ning wang tresneng wisaya malaha ta wihikana ri tatwa nyan maya sahana-hana ning bawa siluman.
Artinya kira-kira:
Orang yang menonton wayang menangis, terpesona dan sedih meskipun sudah tahu bahwa yang ditonton itu hanyalah kulit dipahat, diberi bentuk manusia, dapat bertingkah dan berbicara. Yang menonton ibarat orang yang tamak akan harta dunia yang nikmat. Akibatnya mereka tergerak hatinya, tidak tahu bahwa sebenarnya hanya bayangan yang tampil laksana siluman belaka.
Dari kalimat di atas dapat disimpulkan sejak abad XI itu, pagelaran wayang telah mempesonakan penonton sampai mereka kehilangan keseimbangan emosinya (Haryanto, 1991).
Bagi orang Jawa, eksistensi wayang (baca: wayang kulit) menempati kedudukan yang lebih spesifik. Karkono Partokusumo, seorang budayawan Jawa terkemuka, mengatakan bahwa wayang di Jawa mempunyai hakekat dan kandungannya sendiri. Kandungan wayang yang serba lambang, pada hakekatnya menunjukkan jati diri dan kepribadian Jawa yang khas. Berbagai peralatan pagelaran wayang seperti kelir, gedebog, blencong, cempala dan sebagainya, semuanya merupakan ciptaan orang Jawa yang mengandung makna-makna tertentu.
Selain itu, wayang-wayang tertentu merupakan lambang yang berbicara dalam filsafat Jawa. Misalnya saja, kayon atau kekayon atau gunungan. Gambar pohon dalam kayon melambangkan pohon surga, pohon kehidupan, pohon budi (pengetahuan), kalpataru (pohon penghargaan) dan merupakan bagian utama dari kayon, yang diartikan sebagai sumber pengetahuan atau pohon pengayom. Ada juga yang mengartikan bahwa kayon melambangkan kehidupan di dunia yang fana. Hal itu dihubungkan dengan tancep kayon sebagai sangkan paraning dumadi (kembali ke asal muasal). Masih banyak interprestasi lain tentang kayon, baik yang bersifat filosofis maupun mistis.
Tegasnya, keseluruhan pagelaran wayang, sejak dari pembukaan (talu) sampai berakhirnya pagelaran dengan tancep kayon, mempunyai kandungan filosofis yang tinggi. Tiap adegan dengan iringan gending sendiri-sendiri dan makin lama makin meningkat laras dan iramanya sehingga mencapai klimaks yang ditandai dengan tancep kayon, setelah semua masalah di dalam lakon terjawab dan berhasil diselesaikan. Kesemuanya itu menggambarkan kompleksitas kehidupan manusia di dunia ini dengan segala aspek dan dinamikanya, yang tidak lepas dari peran dan kedudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan maupun sebagai makhluk sosial.
Eksistensi Dalang
Dalam pagelaran wayang, dalang menempati peran dan posisi yang sangat sentral. Ungkapan Jawa dhalange mangkel, wayange dipendem menunjukkan betapa besar peranan dalang dalam pagelaran wayang. Dalang merupakan sutradara sekaligus tokoh utama dalam pagelaran. Ia adalah penutur kisah, penyanyi lagu (suluk) yang mengajak memahami suasana pada saat-saat tertentu, pemimpin suara gamelan yang mengiringi, dan di atas segalanya, dalang merupakan pemberi jiwa pada wayang atau pelaku-pelaku manusianya (Von Groenendael, 1987).
Pada zaman dahulu, peranan dalang tidak terbatas sampai disitu. Sesuai dengan fungsi pewayangan sebagai upacara ritual dan keagamaan, yaitu untuk menyembah atau menghormati arwah leluhur, dalang pun dipandang sebagai penghubung antara manusia dengan jagat besar (makro-kosmos), antara komunitas dengan dunia spiritual. Oleh karenanya, dalang mempunyai tempat dan kedudukan yang terhormat dalam kehidupan masyarakat.
Lalu bagaimana posisi dan peranan dalang saat ini? Sesuai dengan perubahan dan perkembangan wayang yang saat ini telah beralih menjadi upacara modernisasi, meminjam istilah James L. Peacock dalam bukunya Rites of Modernization : Symbolic and Sosial Aspect of Indonesia Proletarian Drama, dalang pun mendapat peran baru yang tetap tidak menghilangkan pamornya di masyarakat. Saat ini, wayang diharapkan menjadi sarana komunikasi yang dapat menyampaikan konsepsi-konsepsi dan ide-ide baru yang sesuai dengan gerak langkah pembangunan. Sesuai dengan sifat pagelaran wayang yang multi-dimensional, maka para dalang sebagai figur utama dan sentral, sudah sewajarnya dapat tampil dalam berbagai peranan, sebagai komunikator, seniman, pendidik masyarakat, penghibur, juru penerang ataupun kritikus sosial.
Sebagai seniman, dalang dituntut penguasaannya atas unsur-unsur seni pedalangan, yang mencakup seni drama, seni rupa, seni kriya, seni sastra, seni suara, seni karawitan dan seni gaya. Dalang pun harus menguasai 12 bidang keahlian yang merupakan persyaratan klasik tradisional yang sangat berat tetapi mendasar (Haryanto, 1988), yaitu : Antawacana, Renggep, Enges, Tutug, Pandai dalam sabetan, Pandai melawak; Pandai amardawa lagu, Pandai amardi basa, Faham Kawi Radya, Faham Parama Kawi, Faham Parama Sastra, dan Faham Awi Carita.
Dengan menguasai 12 persyaratan tersebut, diharapkan dalang menjadi tangguh dan sanggit, mampu menangkap selera dan suasana penonton, sanggup dan peka terhadap situasi dan kondisi masyarakat di mana wayang dipagelarkan. Sebagai seniman, dalang dapat ikut serta memupuk apresiasi seni masyarakat penontonnya dalam mencintai dan melestarikan budaya tradisi, sehingga penetrasi kebudayaan asing yang negatif dapat dicegah ataupun dikurangi. Usaha ini akan berjalan efektif apabila dalang terus berusaha membekali diri serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya, sehingga ia mampu mengajak masyarakat penontonnya kepada wawasan pemikiran yang lebih luas dan maju.
Bagaimanapun, pagelaran wayang akan menjadi menarik atau tidak, bergantung pada keterampilan dan kreativitas dalang dalam membawakan cerita, baik yang bersumber pada pakem pedalangan maupun cerita-cerita carangan (gubahan). Dengan demikian, melalui metode yang khusus dan gaya penyajian yang khas, dalang sekaligus telah mampu berperan sebagai pendidik masyarakat.
Seperti diketahui, wayang sebagai kesenian tradisional telah berakar pada kebudayaan masyarakat setempat, sehingga antara dalang dan wayang sebagai sumber dan media di satu pihak, dengan masyarakat penonton sebagai khalayak sasaran di lain pihak terdapat derajat homofili yang cukup tinggi. Ini berarti antara dalang dan masyarakat penontonnya terdapat berbagai kesamaan, yang antara lain mencakup nilai-nilai, kepercayaan, status sosial,dan sebagainya. Derajat homofili yang tinggi dalam pemanfaatan wayang memungkinkan ‘pesan-pesan’ yang disampaikan mudah disesuaikan dengan situasi dan kondisi khalayak sasaran.
Karakteristik lain dari pagelaran wayang, sebagaimana pagelaran kesenian tradisional umumnya, adalah adanya suatu bentuk teatral yang menonjol yang memungkinkan terciptanya komunikasi yang baik dan bersifat ‘dua-arah’ antara dalang dengan penontonnya. Memang, hakekat kesenian tradisional adalah adanya prinsip bahwa penonton merupakan bagian dari pentas itu sendiri. Dalam kondisi seperti ini, dalang sebagai komunikator secara cepat dapat mengetahui bagaimana reaksi (umpan balik) dari penonton terhadap pesan-pesan yang disampaikannya, baik isi dan atau cara penyampaiannya, apakah diterima atau sebaliknya ditolak. Hal itu memungkinkan dalang yang jeli dan terampil dapat mengontrol dan mengembangkan permainannya, sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima oleh penonton sebagai suatu kewajaran (tanpa unsur paksaan).
Singkatnya, pemanfaatan wayang sebagai media komunikasi memungkinkan adanya daya vibrasi yang tinggi sehingga pesan yang disampaikan mudah diserap, diinterpretasikan serta mampu menghasilkan efek yang segera (vibral). Menurut Rakhmat (1996), efek yang segera sangat penting untuk efektivitas suatu komunikasi.
Sebagaimana kesenian tradisional pada umumnya, terutama yang mempunya unsur dialog, pagelaran wayang juga mempunyai flesibilitas penyampaian pesan yang cukup tinggi. Tantangan yang muncul bagi para dalang adalah bagaimana mengembangkan materi-materi tambahan ke dalam suatu lakon, melalui proses penyaringan dan improvisasi, tanpa merusak pakem cerita secara keseluruhan. Jangan sampai hal tersebut justru akan menimbulkan “boomerang-effect” dari khalayak penonton. Pesan dan gerak anak wayang yang dimainkan hendaknya selalu mengikuti perkembangan zaman. Dalang sebagai juru penerang harus mampu membawakan pesan, issue, yang sedang hangat berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Pada dasarnya segala nilai kehidupan, apa pun masalahnya, dapat diangkat kedalam lakon wayang, baik nilai estetis maupun nilai religiusnya. Daya tarik penyajian fenomena yang berkembang di tengah masyarakat seperti tentang masalah disiplin, kebersihan, Keluarga Berencana, kesehatan, AIDS, koperasi, tertib lalu lintas ataupun siskamling sangat bergantung kepada keterampilan dalang dalam meramu sajian. Yang tak kalah pentingnya adalah perhatian dalang terhadap situasi lokasi pagelaran (misalnya kantor pemerintah atau pemukiman penduduk) serta pada pertemuan apa pagelaran dilaksanakan (peringatan, jagongan atau peresmian sesuatu). Hal itu sebenarnya merupakan materi yang tidak akan pernah habis untuk digali dan selalu variatif. Materi-materi tersebut merupakan aksesoris, pelengkap, pada pakem pedalangan sehingga pagelaran wayang tetap digemari masyarakat penontonnya.
Sementara itu, karena sifat hiburannya, pagelaran wayang sering menyerap banyak penonton. Unsur-unsur hiburan yang mewarnai pagelaran wayang antara lain lagu-lagu kegemaran penonton, teknik memainkan wayang (lincah dan mahir), dan tentu saja yang paling menonjol adalah lawakannya baik tokoh punakawan maupun tokoh-tokoh lainnya. Kenyataan itulah antara lain yang mendorong beberapa dalang untuk melakukan berbagai improvisasi, khususnya dalam seni pakeliran. Para penonton sering memberikan reaksi yang mendukung kepada dalang yang mengadakan perubahan dan penyimpangan tetapi menggembirakan, daripada dalang yang patuh kepada pakem pedalangan tetapi terlalu serius dan kaku. Masyarakat penonton menginginkan hal-hal baru, sementara di lain pihak para dalang berusaha menempati unsur regu, yaitu ia harus dapat membuat pakeliran yang tidak membosankan (Sutarno, 1991). Hal seperti inilah yang antara lain dipertontonkan dalang beken Ki Anom Suroto, yang sering menyelipkan lagu-lagu rock ‘n roll dalam setiap adegan goro-goro atau lagu-lagu berlirik bahasa Inggris dengan iringan gamelan. Langkah yang hampir sama dilakukan dalang setan Ki Manteb Sudarsono melalui sajian sabetannya.
Improvisasi yang dilakukan beberapa dalang sebenarnya hanya merupakan variasi, selingan, tanpa mengurangi kualits pagelaran wayang. Hal itu sekaligus merupakan salah satu cara agar wayang tetap digemari masyarakat penonton, terutama oleh kalangan muda. Terlepas dari kontroversi yang muncul, improvisasi yang dilakukan merupakan usaha positif bagi perkembangan dan pelestarian seni pewayangan, khususnya seni pakeliran. Tentu saja, hal itu harus dilakukan dengan tetap memperhatikan dan menjaga nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Tugas para dalang untuk menyajikan pakeliran yang mampu memadukan nilai etika dan estetika, yang sekaligus mewujudkan konsep keseimbangan dalam fungsi pewayangan, yaitu antara fungsi tontonan dan tuntutan, antara fungsi hiburan dan pendidikan.
Catatan Penutup
Dalam era globalisasi saat ini, tantangan untuk mempertahankan eksistensi wayang dengan dalang sebagai ujung tombaknya, sebagai salah satu warisan budaya nasional, terasa semakin berat. Masalhnya sekarang adalah bagaimana kita harus menentukan sikap sehingga nilai-nilai tradisional yang positif dapat terus dipertahankan dan dikembangkan, sekaligus mencegah atau mengurangi berkembangnya nilai-nilai baru yang negatif.
Pemanfaatan wayang sebagai salah satu media komunikasi pembangunan merupakan langkah yang sangat positif dan bijaksana, sekaligus akan memberikan manfaat ganda. Pertama, secara langsung hal itu merupakan usaha untuk memelihara, mengembangkan dan melestarikan wayang yang merupakan warisan nilai budaya nenek moyang bangsa. Apalagi jika diingat bahwa kemajuan yang sangat pesat dalam bidang teknologi dan informasi telah melahirkan berbagai kecenderungan baru dalam kehidupan masyarakat saat ini.
Kedua, wayang sebagai suatu bentuk kesenian tradisional telah berakar kuat dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, maka ia relatif memiliki kedekatan-kedekatan nilai, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dengan masyarakat setempat. Sebagai kesenian tradisional, wayang pun relatif memiliki kapasitas tinggi untuk “dititipi” pesan-pesan pembangunan, sehingga eksistensinya sebagai media komunikasi tidak hanya pelengkap tetapi merupakan “mitra sejajar” dari berbagai media komunikasi modern yang selama ini digunakan, baik media elektronika maupun media cetak.
Sementara itu untuk meningkatkan kualitas dalang, tampaknya para dalang perlu diberi kesempatan yang lebih luas untuk melakukan pagelaran secara berkesinambungan. Penyediaan berbagai sarana dan prasarana seperti gedung pertunjukan yang representatif dengan biaya sewa yang relatif murah, akan sangat membantu terlaksananya usaha tersebut. Kesempatan lain bagi para dalang untuk memperlihatkan dan meningkatkan kreasi dan keterampilannya adalah areana festival, seperti Festival Greget Dalang yang pernah diadakan di Solo, di mana para dalang dapat berkompetisi secara sehat dengan dalang-dalang lainnya serta tanggap dan bisa mengikuti perkembangan yang terjadi. Dalang-dalang yang berkualitas diharapkan mampu tampil sebagai komunikator yang tangguh dan siap menjawab tantangan perkembangan zaman. Dalang-dalang berkualitas merupakan ujung tombak untuk menegaskan citra pagelaran wayang, yang belakangan ini seringkali kalah pamor oleh pagelaran berbagai jenis kesenian lain yang lebih modern.
Lebih jauh, perlu pula dipikirkan adanya suatu “forum dialog” yang bisa dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan, baik yang berupa seminar, saresehan, lokakarya ataupun yang lainnya. Dalam kesempatan tersebut bisa dipertemukan para praktisi, teoritisi juga peminat dan pecinta wayang untuk bertukar pikiran, sehingga berbagai masukan untuk pengembangan dan pelestarian seni pewayangan.
Usaha-usaha tersebut merupakan pekerjaan besar, yang memerlukan proses panjang. Perlu adanya komitmen dan kerjasama dari berbagai pihak yang berkepentingan, baik dari para pendukung pagelaran wayang (niyaga, pesinden, dan terutama dalang), peminat dan pecinta wayang dan juga pemerintah khususnya departemen-departeman terkait. Dengan adanya komitmen dan kerjasama ini diharapkan wayang, sebagai salah satu warisan budaya nasional, dapat terus dipelihara dan dipertahankan eksistensinya, bahkan dikembangkan untuk dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan pembangunan sumber daya manusia Indonesia.