Sebuah tragedi cinta segi tiga yang rumit, penuh pengorbanan, dan sangat menghancurkan; karena melibatkan perselingkuhan dengan saudara kandung, ditambah dengan sebuah fenomena ‘titisan’ yang pada masa lampau disebabkan oleh terjadinya suatu skandal yang menggemparkan dan sangat memalukan di dunia kahyangan para dewa-dewa.
Biasanya, drama tragedi cinta selalu berkait erat dengan wanita sebagai korban. Tetapi kali ini, kita berhadapan dengan tokoh laki-laki yang menjadi korbannya….
Tiba-tiba ia diam tertegun, terpaku tegak bagaikan patung batu tak bergerak. Lamat-lamat terbawa sang samirana, terdengar Tembang Sendhon Tlutur yang merujit perasaan di tengah remangnya cahaya bulan purnama yang sendu, membuat bayangan hitam dahan-dahan pohon tua yang kering meranggas di atas tanah datar bebatuan.
Bayangan hitamnya, seakan mencakar langit, seperti jari-jari tangan yang putus harapan, menggapai harapan yang musnah ditelan cerita parwa di alam janaloka. Suara desah resah tembang merana, diterpa suara rebab menyayat, melabuhkan suasana kiamat. Sesekali disentuh lengking bunyi seruling, menggemakan rasa merontokkan sukma. Sekelompok burung camar, terbang di pantai Samodra Utara, melayang terbang terbanting-banting di tengah badai.
Awan hitam kelam bergulung-gulung menakutkan, mengalir berubah-ubah rupa, bagaikan sekawanan jin setan perayangan. Menari membawa petaka di alam raya, menenggelamkan rasa yang hilang tak bermakna. Perlahan bagai tak terasakan, seakan hendak menyembunyikan diri di dalam kelam, terdengar suara tembangnya merana….
Kingkin saya markiyu,
Rinasa saya karasa,
O,
Angantya wuwusing dewa,
Awignam hastu wijil ing lathi,
O,
O,
Riris karasa sajroning nala,
Karasa lir jaka lola,
Kadya riniris rasane,
Mung sira puspitaningsun,
Sesotya pindha pepadhang,
Jroning kalbu salawasnya,
O,
Ri kalanta anglila ingsun,
O,
O. [1]
Terbayanglah, Sang Boma Nara Sura yang gagah perkasa itu, sama sekali tak berdaya saat menghadapi takdirnya sebagai laki-laki. Berdirinya tak kokoh lagi, lemas lunglai raganya, bagai tak bertulang lagi.
Rubuhlah segala daya tubuhnya, tak kuasa menyangga berat raganya. Bumi seakan kiamat, saat mendengar pengakuan Hagnyanawati permaisurinya, yang jatuh hati kepada Samba sang pembawa petaka.
Hari bahagia, seketika berganti dengan badai guntur yang menakutkan. Berita terdengar bagaikan sejuta halilintar menyambar bersama ke bumi dalam sedetik. Meluluh-lantakkan seluruh kekuatan yang semula menopang raganya. Keringat dingin seketika mengalir deras tak tertahankan dari tubuhnya bagai disadap. Lenyap sudah segala yang dimilikinya. Lenyap sudah harga dirinya sebagai seorang penguasa. Lenyap pula kehormatannya sebagai seorang laki-laki….
Bram Palgunadi