Dunia Wayang Adalah Cermin Dunia Kita |
Saat dhalang hendak menampilkan adegan Harjuna yang sedang jatuh cinta, maka dikeluarkanlah wayang Harjuna yang berwanda 'kinanthi'.[1] Atau, saat dhalang hendak melakonkan Prabu Bala Dewa yang sedang dalam keadaan marah, maka dipakailah wayang Bala Dewa berwanda 'geger'.[2] Saat dhalang hendak menampilkan adegan 'Perang Kembang' dengan tokoh raksasa yang terkenal di seantero jagat karena buas, banyak gerak, dan cekatan; maka ia mengeluarkan wayang Cakil yang berwanda 'kikik'.[3] Saat adegan Gathut Kaca sedang marah, maka dipakailah wayang Gatut Kaca berwanda 'thathit'.[4] Sewaktu dhalang hendak menampilkan tokoh Bima Sena yang sedang mengamuk, maka dikeluarkankan wayang Bima Sena yang berwanda 'guntur'.[5] Lalu, pertanyaannya 'wanda' itu apa?
Dalam penjelasan ringkas yang mudah-mudahan gampang dipahami, 'wanda' dapat dijelaskan sebagai 'suatu gambaran atau bentuk rupa visual yang mewakili atau merefleksikan suatu suasana, emosi, atau kondisi tertentu'. Dalam bahasan yang lazim dikenal di dunia disain, 'wanda' dapat disetarakan dengan 'citra' (image). Jika seorang disainer produk hendak mendisain dan membuat suatu produk tertentu, maka lazimnya ia harus memikirkan, menganalisis, dan mengkonsepkan secara matang dan hati hati, sejumlah aspek disain. Salah satu aspek disain yang pada masa sekarang makin lama makin penting peran dan dominasinya, adalah 'citra disain' (design image). Mengapa hal ini penting untuk dipahami? Tidak lain, karena peran citra yang diterapkan pada disain suatu produk akan memegang peran yang sangat dominan, sehingga bisa membuat produk (benda) tersebut disukai oleh calon pemakai atau pemakainya. Suatu citra, biasanya diterapkan pada disain suatu produk, dengan tujuan supaya produk yang dihasilkan menarik, menyenangkan, atau sesuai dengan kesan yang diinginkan pemakainya.
Wayang dan Dalang |
Thursday, 27-January-2011 Manusia berkesenian adalah untuk meraih keindahan sebagai wahana memperoleh pencerahan. Dari keindahan itu manusia memperoleh penghayatan tentang kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kebatilan, dan sebagainya yang kesemuanya itu bermuara kepada kedewasaan, kepekaan, dan kecerdasan jiwani atau batiniah. Maka estetika dan etika merupakan dua aspek yang kuat menandai keberadaan salah satu unsur kebudayaan manusia yang disebut kesenian. Estetika adalah ilmu pengetahuan tentang keindahan, etika adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan perihal kebaikan. Kedua aspek itulah di dalam dunia seni pedalangan yang secara sederhana dikatakan sebagai tontonan dan tuntunan. |
Dunia Wayang Bagi Kita |
Friday, 31-December-2010 Suatu ketika pernah beberapa waktu lalu saya berkesempatan berdiskusi dengan seseorang yang saya hormati. Beliau sepantaran dengan saya. Seiman dengan saya. Kebetulan memiliki pengetahuan agama Islam yang begitu dalam. Selalu melakukan syiar agama, berprofesi sebagai guru dalam sebuah pesantren dan sering dipercaya sebagai penceramah dalam acara acara pengajian dan semacamnya. Sebuah pertanyaan dari beliau yang membuat saya tercenung kembali untuk menggali lagi pemahaman saya tentang wayang. Sebenarnya apa sih manfaat wayang bagi kehidupan? Begitu kira kira pertanyaan beliau. Cukup sulit bagi saya untuk membuka sebuah pendapat, karena saya yakin beliau paham betul apa yang dulu telah dilakukan oleh para Wali, ketika melakukan akulturasi budaya wayang dan memanfaatkannya sebagai media dakwah Islam. Saya yakin beliau juga paham betul, bagaimana seni pertunjukan wayang, sampai pada taraf tertentu bahkan sampai sekarang, masih menjadi sebuah alat pengkomunikasi nilai nilai yang cukup efektif bagi sebagian masyarakat kita. |
Kembali ke Paranggelung |
Saturday, 30-January-2010 Adakah yang mengecewakanmu Ngger anakku si Aswatama? Hingga tanpa pamit tanpa berita engkau tinggalkan begitu saja bapakmu ini dan bumi Sokalima. Tidakkah engkau menyayangiku Ngger? Apa salahku Tole? Dalam kebingungan Durna menemui Harjuna, untuk memasrahkan anak semata wayang si Aswatama yang tanpa pamit telah meninggalkan Sokalima bersamaan dengan Ekalaya dan Anggraeni sahabatnya. Harjuna, Harjuna, tolonglah aku, susullah Aswatama, dan ajak kembali, jangan perbolehkan ia pergi meninggalkan aku sendirian. Melihat kecemasan dan kebinggungan sang guru, Harjuna merasa iba. Maka dengan serta-merta Harjuna menyanggupi untuk mencari Aswatama.dan segera berangkat meninggalkan Sokalima. Durna sedikit lega. Ia memandangi Harjuna hingga hilang dari pandangan, kemudian masuk ke ruang dalam untuk menenangkan hati. Jika sudah demikian tak ada cantrik yang berani mengganggu. |
Dunia Wayang Kita Semua |
Friday, 01-January-2010 Baru baru ini saya mendapat pertanyaan dari salah seorang sahabat saya. Sebuah pertanyaan yang bisa jadi menantang pemahaman saya akan 'close-up' dunia wayang yang selama ini saya angkat dalam novel novel saya. Pertanyaan yang membuat saya menggali kembali, dan sampai kepada pemahaman bahwa apa yang telah diupayakan para pujangga tanah Jawa begitu 'fit in' mengadopsi dan menggubah kisah dunia wayang ke dalam konteks budaya Jawa. Pertanyaannya cukup sederhana, apa manfaat kelir dalam pagelaran wayang kulit. Kelir adalah layar putih yang memisahkan sosok wayang kulit dengan penontonnya. Sehingga wayang kulit yang begitu penuh warna, 'hanya' akan dilihat hitam putih bagi penontonnya. Bila anda mencoba mengamati lebih detail dan seksama sebuah wayang kulit karya seniman pengrajin wayang kulit. Dia menatah membuat lobang setiap detail wayang kulit dengan seksama, kemudian memberi warna setiap milimeter dengan ornamen yang dibuat harus bagus di setiap goresannya. Mengapa kemudian harus diperlihatkan secara hitam putih? Apakah yang dilakukan para pengrajin wayang itu sia sia? |
Radheya (KARNA) - Masa kecil |
Monday, 19-October-2009 Sambungan dari : Seputar Kelahiran Radheya/Karna Beberapa hari berlalu sudah, keranjang kayu itu masih terhanyut dan diayun lembut dalam pelukan Sungai Gangga… Di suatu desa kecil di wilayah Anga yang letaknya tak jauh dari dari istana tempat Kunti tinggal, hiduplah sepasang suami istri yang bernama Atiratha dan Radha, keduanya berasal dari kasta Suta [1]. Sesuai dengan kastanya, Atiratha sehari harinya bekerja sebagai pengemudi kereta perang (Sarathy) Raja Drishtharatha. Pasangan suami istri ini belum dikaruniai keturunan. Setiap hari mereka berdoa dan memohon pada Dewata supaya segera diberi seorang anak. Mereka begitu mendambakan kehadiran seorang anak yang pasti akan menyemarakkan rumah dan mewarnai kehidupan mereka sehari hari. |
Destarastra Pemimpin yang Buta |
Tuesday, 29-September-2009 Peristiwa Bale Sigalagala sangat menggemparkan seluruh kawula Hastinapura. Bukan karena bangunan yang elok asri itu ludes terbakar, tetapi terutama karena Anak anak Pandudewanata calon raja yang didambakan rakyat menjadi korban. Pandita Durna yang pada waktu kejadian belum berperan banyak selain sebagai guru dari warga Pandawa dan warga Korawa, ikut prihatin dan bersedih, pasalnya karena dua murid terbaiknya yakni Bimasena dan Herjuna menjadi korban. Jika oleh banyak orang peristiwa Bale Sigalagala dicatat sebagai tragedi pilu umat manusia, namun tidak oleh Patih Sengkuni. Ludesnya Bale Sigalagala sama artinya dengan sirnanya penghalang yang merintangi ambisinya untuk mendudukan Doryudana di tahta Hastinapura. Oleh karenanya patut disambut dengan sukaria. Tetapi benarkah Sengkuni berhasil menyingkirkan para Pandawa? Memang sementara ini kawula Hastinapura mempercayai bahwa warga Pandawa telah mati. |
Radheya (KARNA) - Seputar kelahiran |
Friday, 18-September-2009 Ini adalah cerita singkat tentang kehidupan Radheya atau yang lebih dikenal dengan nama Karna di Indonesia... Radheya/Karna adalah salah satu tokoh terpenting dalam Mahabharata. Meskipun dia terkenal pendekar terhebat yang paling murah hati pada jamannya... tapi kehidupannya penuh cobaan sejak dari lahir. Seputar kelahiran Cerita ini bermula saat seorang puteri bernama Kunti masih tinggal di kerajaan ayah angkatnya, Raja Kuntibhoja. Di saat Kunti baru mulai menginjak usia remaja , seorang resi bernama Durvasa berkunjung dan tinggal di istana selama 1 tahun. Kunti ditugaskan oleh ayahnya untuk melayani Resi Durvasa agar sang resi merasa nyaman... |
Kumbakarnakah Kita Ini? |
Wednesday, 02-September-2009 Kumbakarna. Ah...Nama itu bagiku sudah tak asing lagi. Tentu kalian pun juga akan merasakan hal yang sama kalau telah akrab dengan kisah Ramayana. Begitu mendengar namanya yang legendaris, kuyakin, kalian tidak akan membayangkan seorang lelaki muda yang klimis dan rapi seperti bintang sinetron. Kalian juga tak akan membayangkan seorang yang berjenggot panjang, memakai jubah dan surban yang melilit di kepala. Yang kalian temukan hanyalah seorang raksasa. Ya, raksasa. Lengkap dengan perut gemuknya, dengan taring panjangnya, dengan rambut gimbalnya dan dengan tubuh besarnya. |
Tokoh Semar bukan ciptaan Sunan Kalijaga |
Thursday, 23-July-2009 Masih banyak masyarakat Indonesia yang mengira bahwa Semar adalah ciptaan Sunan Kalijaga. Pendapat tersebut amat keliru karena membaca atau mendengar dari sumber yang salah, atau sengaja memutar balikkan fakta. Tokoh Semar sudah ada pada zaman Pra Islam. Tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439. Semar atau lengkapnya Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa. |